Minggu, 21 Juni 2015

FUNGSI TARIAN TNABAR ILA’A DALAM UPACARA ADAT DI DESA WATIDAL KECAMATAN TANIMBAR UTARA

FUNGSI  TARIAN TNABAR ILA’A DALAM UPACARA ADAT  DI DESA WATIDAL KECAMATAN TANIMBAR UTARA KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT
SKRIPSI
                                                                                         



                                                                                                      
OLEH:
Hendrison Baulu
Mega Koritelu My Honey

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mula-mula kelompok masyarakat sosial yang geneologis bertempat tinggal digunung-gunung atau bukit-bukit dan pada tempat-tempat yang aman dan strategis. Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia, bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggotanya seperti kekuatan alam maupun kekuatan lain yang tidak selalu baiknya.kecuali manusia memerlukan kepuasan baik dibidang spiritual maupun material. Kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.
Dalam hubungan yang khas itu, manusia mengungkapkan kesadaran dan kebebasannya ke dalam alam material.Ia adalah makluk budaya. Maka kebudayaan dapat didefinisikan sebagai hasil pengungkapan diri Manusia ke dalam materi sejauh diterima dan dimiliki suatu masyarakat dan menjadih warisannya (K.J.Veeger,1992:7).  Menurut E.B. Taylor, Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (JOKO Tri Prasetya, 2009:29). Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang saling berkaitan satu sama lain.
Kebudayaan bersifat dinamis, kebudayaan bukan kata benda, melainkan kata kerja.Tradisi pun dapat dan harus diubah, adanya interaksi antara harta warisan dan manusia yang mewarisinya.kebudayaan jangan dipandang sebagai titik tamat melainkan sebagai petunjuk jalan, sebuah tugas. Proses kebudayaan meliputi kita semua, maka setiap warga masyarakat hendaknya merasa terlibat.
                                                    1
                                                                                                                        2
Ada juga yang mengatakan, bahwa kata budaya merupakn suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang berarti daya dan budi, Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan.Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.
Kebudayaan adalah suatu fenomena universal, setiap masyarakat bangsa didunia memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda antara satu masyarakat bangsa dengan masyarakat bangsa lainnya. kebudayaan secara jelas menampakan kesamaan kodrat manusia dari berbagai suku bangsa dan ras.(A. Batkunde, 2012:9).
Tnabar Ila’a merupakan Tari pengikat persahabatan pada waktu “panas pela” kesepakatan dua kampong untuk membangun .Tnabar ila’a juga adalah “tarian kebesaran” merupakan tarian kebesaran orang tanimbar. Tarian ini melibatkan banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan.(A. Batkunde, 2012:17).
Dengan latar penguraian diatas, maka penulis akan melakukan kajian dengan judul :  
FUNGSI TARIAN  TNABAR ILA’A DALAM UPACARA ADAT  DI DESA WATIDAL KECAMATAN TANIMBAR UTARA KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT”.
B.     Rumusan Masalah
Dari judul yang ditetapkan dan sesuai uraian sebelumnya maka permasalahan dapat dirumuskan sebaga iberikut ; bagaimana Fungsi Tarian Tnabar Ila’a dalam Upacara Adat didesa watidal.                    

                                               
                                                                                                           3
C.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah mencari data-data historis dan mengungkapkan Fungsi tarian tnabar ila’a dalam upacara adat didesa watidal.
D.    Manfaat Penelitian
a.       Manfaat  akademis
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti untuk dapat mengadakan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan topic penelitian ini.
b.      Manfaat praktis
1.      Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawancara mengenai Fungsi tarian tnabar ila’a dalam upacara adat di desa watidal, kecamatan tanimbar utara, kabupaten Maluku tenggara barat.
2.      Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan informasi secara tertulis mampu sebagai referensi mengenai Fungsi tarian tnabar ila’a dalam upacara adat  didesa watidal, kecamatan tanimbar utara, kabupaten Maluku tenggara barat.
E.     Penjelasan Istilah
1.      Tnabar Ila’a adalah tarian kebesaran orang tanimbar. Tarian ini melibatkan banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan. Tnabar Ila’a juga merupakan tari pengikat persahabatan pada waktu panas pela, kesepakatan 2 (dua) kampung untuk membangun.
2.      Masyarakat desa watidal merupakan sekelompok orang yang tinggal atau diam pada sebuah desa yang terletak dimaluku tenggara barat, kecamatan tanimbar utara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Konsep Kebudayaan
Dalam kehidupan sehari-hari istilah kebudayaan diartikan dengan hal-hal yang menyangkut kesenian dan adat istiadat. Kebudayaan juga sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Dalam hubungan yang khas itu, Manusia mengungkapkan kesadaran dan kebebasannya ke dalam alam material. Ia adalah makluk budaya. Maka kebudayaan dapat didefinisikan sebagai hasil pengungkapan diri Manusia ke dalam materi sejauh diterima dan dimiliki suatu masyarakat dan menjadih warisannya (K.J.Veeger, 1992:7).
Kebudayaan merupakan seluruh system gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan Manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar yaitu (tindakan naluri, reflex, atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologi).
Menurut tradisi tersebut kebudayaan dilihat sebagai suatu sistim kognitif, sejumlah pengetahuan yang di lakukan oleh pelaku-pelaku pribumi digunakan untuk memahami dunia dan satu sama lain, dan untuk memilih prilaku yang tepat (Roger M. Keesing 1992:119).
          Menurut Koentjaraningrat (2002:187), wujud kebudayaan terbagi atas tiga yaitu:
1.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai norma-norma peraturan dan sebagainya.
2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
                                         4
                                                                                                        5
3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Di dalam kebudayaan juga saling mengendalikan maka kebudayaan di bedakan atas tiga yaitu:
a.       Kebudayaan adalah produk manusia, artinya kebudayaan adalah ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan atau dewa.
b.      Kebudayaa selalu bersifat sosial, artinya kebudayaan tidak pernah di hasilkan secara individual, melainkan oleh manusia secara bersama.
c.       Kebudayaan di teruskan lewat proses belajar, artinya kebudayaan itu diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui proses belajar.(A.Batkunde, 2012:9-10).
Menurut pendapat (Elly M.Setiadi dkk, 2009: 28), ada lima pengertian tentang   kebudayaan.
1.      Kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2.      Kebudayaan dapat dipandang sebagai tingkah laku yang dipelajari oleh anggota masyarakat lainnya.
3.      Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.
4.      Kebudayaan adalah suatu hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
5.      Kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.


                                                                                                              6
B.     Konsep Adat-Istiadat
           Di dalam hampir semua masyarakat manusia diseluruh dunia hidup indvidu dibagi oleh adat istiadat masyarakatnya ke dalam tingkat-tingkat tertentu. Dalam suatu kebudayaan saat peralihan dari masa bayi ke masa penylihan dianggap amat gawat, tetap dalam masyarakat lain dalam satu kebudayaan saat peralihan dari masa kanak-kanak ke masa puber dianggap amat gawat, tetapi dalam kebudayaan lain tidak.
              Dalam banyak sekali kebudayaan,  juga anggapan bahwa saat peralihan dari satu tingkat hidup ke tingkat hidup lain, dari satu lingkungan social ke lingkungan sosial lain itu merupakan suatu saat yang gawat, yang penuh bahaya, nyata mapun gaip. Demikian upacara-upacara pada masa lampau saat-saat krisis serupa itu sering mengandung unsur-unsur yang bermaksud menolak bahaya gaib yang mengancam individu serta lingkungan.
Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat, Adat adalah suatu gambaran yang diambil dari perilaku hingga menjadi hukum adat yang bersifat sosiologis. Menurut pendapat (Soerjono Soekanto 2012 : 72-73) ada tiga hukum adat  ialah:
1.      Adat merupakan undang-undang alam,dimana dan kapan pun dia akan tetap sama.
2.      Adat istiadat adalah peraturan pedoman hidup diseluruh daerah-daerah setempat.
3.      Adat yang diadatkan ini adalah adat yang dapat dipakai setempat, seperti dalam satu daerah adat menyebut dalam perkawinan mempelai harus memakai pakaian kebesaran.
         
                                                                                                                                   7
           Selain itu juga ketaatan terhadap adat istiadat yang kurang penting agak dipaksakan bukan karena pelanggaran terhadapnya merupakan suatu perbuatan yang salah, akan tetapi oleh karena ketidak taatan merupakan suatu bukti terjadinya kesalahan. Telah dikatakan oleh Fortes bahwa kebanyakan adat istiadat kekerabatan bersifat khusus.
             Dengan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan, maka Rajo Panghulu mengatakan bahwa adat berarti sifat imateril yang berarti bahwa adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Selain itu juga M. Nasroen mengatakan bahwa adat istiadat merupakan suatu sistem pandangan hidup yang kekal, segar serta aktual.
            Adat istiadat juga ialah peraturan pedoman hidup diseluruh daerah yang diperturunkan. Adat-sitiadat juga mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut yang utama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.
             Menurut Hazairin adat istiadat ialah suatu system yang berlaku pada suatu masa dalam suatu masyarakat yang teretntu mempunyai isi dan taraf yang tertentu pula, yang menjadi ukuran sama rata bagi sopan santun yang sahir untuk setiap anggota masyarakat itu. Antara masyarakat dan masyarakat yang semasa mungkin berbeda isi dan taraf adat istiadat tersebut, akan tetapi bagaimanapun juga pada pokok-pokoknya adat istiadat tersebut mempunyai maksud dan tujuan yang sama.
C.    Sejarah Munculnya Tarian
            Perjalanan dan bentuk tarian di Indonesia sangat terkait dengan kehidupan masyarakat, baik di tinjau dari struktur etnik maupun dalam lingkup Negara kesatuan. Indonesia sebagai Negara kesatuan, maka tidak terlepas dari latar belakang keadaan
                                                                                                                                   8
 masyarakat Indonesia pada masa lalu. Namun apabila di tinjau dari masyarakat Indonesia hingga saat ini, maka masyarakat sekarang merupakan masyarakat Indonesia dalam lingkup Negara kesatuan. Tentu saja masing-masing daerah telah menampilkan budaya yang berbeda-beda bagi seni pertunjukan, karena kehidupan tarian sangat tergantung pada masyarakat pendukungnya.
             Tarian di Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman suku bangsa dan budaya di Indonesia, tarian ini biasanya di tampilkan tidak menggunaka iringan alat music akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tarian ini di pandu oleh seorang pemimpin  tarian ini selalu melibatkan banyak anggota di dalamnya. Tarian secara umum memiliki aspek-aspek gerak dan keindahan, selain itu tarian memiliki unsur-unsur ruang, tenaga, dan waktu. Pada  saman prasejarah sebelum lahirnya kerajaan di Indonesia wujud dan bentuk tariannya cendrung menirukan gerak alam dan lingkungannya.
            Tarian merupakan hasil karya leluhur Maluku yang tinggal di suatu tempat di mana orang Maluku di yakini berasal sebelum berpencar kewilayah pulau dan sekitarnya, tarian di ciptakan sebagi tari pergaulan yang melambangkan persekutuan anak-anak Maluku. Dahulu tari di tarikan sebagai  penutup atau selesai melakukan acara-acara adat dan sebagainya.
D.    Fungsi Tarian Dalam Tradisi Adat
Tarian tradisional adalah tarian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam kehidupan nenek moyang yang terdahulu, tradisi adalah bagian dari tradisional namun bisah musnah karena ketidak mauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut. Dalam tarian ini berfungsi sebagai media untuk mengkomunikasikan maksud-maksud yang tertentu.

                                                                                                                         9
 Pada zaman dahulu, tarian ini di pertunjukan dalam acara adat tertentu di antaranya dalam upacara adat selain itu, khususnya dalam konteks masa kini, tarian ini di pertunjukan pula pada acara-acara yang bersifat resmi,seperti kunjungan tamu-tamu antar kabupaten dan Negara, atau dalam pembukaan sebuah festival dan acara lainnya.
Ada beberapa fungsi tarian dalam tradisi adat yaitu:
1.      Sebagai sarana kepentingan upacara
2.      Sebagai hiburan
3.      Sebagai seni pertunjukan
Tarian ini juga merupakan salah satu bentuk dari pewujudan budaya, sedangkan ciri, gaya dan fungsi suatu tarian tidak terlepas dari kebudayaan di mana tari tersebut muncul dan berkembang. Dalam lingkup budaya yang mempunyai bahasa, adat istiadat dan kepercayaan tarian tersebut bisah berbentuk dan berfungsi. Tarian dapat di sajikan dalam berbagai peristiwa, di dalam kebudayaan daerah di kenal penyajian tarian dalam rangka suatu upacara keagamaan dan upacara adat, bahkan tidak jarang tarian itu merupakan bagian tidak terpisahkan dengan upacara tersebut.
Dalam hal ini tarian tersebut adalah orang yang terlibat dalam dalam upacara tersebut, dengan maksud dari setiap gerakan ada arti atau symbol suatu pertanyaan atau harapan yang di ungkapkan. Di tinjau dari fungsi seni tari,tari pada awalnya sebagai upacara adat dan munculnya atau keberadaannya suatu karya tari pada jaman dahulu pengemban utama dari keberadaan suatu tari. (Robby Hidajat, http://phaniekabelen.blogspot.com ).
Tnabar ila’a “tarian kebesaran” merupakan tarian kebesaran orang tanimbar. Tarian ini melibatkan banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan. tarian ini di laksanakan pada
                                                                                                                       10
bulan agustus pada saat dua (2) desa melaksanakan pela tersebut. Dua desa ini melaksanakan panas pela ini agar dapat menjaga  tali persaudaraan antara dua desa tersebut.
Dalam dua desa ini  mereka selalu melakukan gotong-royong (kerja bakti). Kebiasaan mereka saling tolong menolong antar warga suatu komunitas kecil dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ada kegiatan-kegiatan yang di kerjakan bersama antara dua desa tersebut.
 Kegiatan ini dilakukan oleh kedua desa yaitu desa kelan dan desa watidal, kedua desa ini saling bekerja sama menyelesaikan suatu pekerjaan yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan umum.

BAB III
METODOLOGI
A.    Tipe Penelitian
Berdasarkan judul dan permasalahan yang akan telah maka penelitian ini termasuk tipe kualitatif deskkritif, titik tolak penelitian bertumpu pada minat untuk mengetahui masalah atau fenomena sosial yang timbul karena berbagai rangsangan. metodologi penelitian merupakan elemen penting untuk menjaga realibitas dan vasilitas hasil penelitian.(Burhan Bungin ed 1979:64).
B.     Lokasi Penelitian
Penelitian di rencanakan di desa  watidal, kecamatan tanimbar utara kabupaten Maluku tenggara barat.
C.    Sumber Data
            Sumber data yang di lakukan penelitian ini adalah:
a.       Manusia sebagai alat (instrument)
Manusia sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya, dan hanya manusialah yang mampu memahami kenyataan-kenyataan dilapangan (Lexy  j. Moleong  2008 : 9).
b.      Narasumber
Narasumber yang terdiri tua-tua adat, tokoh masyarakat yang dianggap memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jelas tentang Tnabar Ila’a.


                                                                        11
                                                                                                                       12
D.    Teknik Pengambilan Sampel
Menurut Lexy  j. Moleong dalam Wenang Lehalima (2013: 30),  pada  penelitian ini penulis menggunakan teknik purposive sampling, teknik ini dilakukan untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bertujuan untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Kemudian teknik internal sampling agar dalam waktu yang relatif singkat banyak informasi yang terjangkau, sebagai internal sampling karena informan digunakan untuk berbicara, bertukar pikiran, atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subjek lainnya.
E.     Teknik  Pengumpulan  Data
            Guna mendapat data untuk jawaban masalah yang di teliti, maka penulis  menggunakan metode:
a.       Wawancara
            Menurut  Begong  suyanto  dan  sutinah ed ( 2007:68), wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data dalam suatu penelitian.karena menyangkut data, maka wawancara merupakan salah satu elemen penting dalam proses penelitian. Wawancara dapat di artikan sebagai cara yang dipergunakan untuk mendapat informasi(data) dari responden dengan cara bertanya langsung secara bertatap muka.
b.      Observasi
Observasi adalah suatu metode yang di gunakan untuk mengamati dan mengetahui secara langsung objek yang di teliti, di mana penulis langsung melakukan observasi kelokasi penelitian dan pengambilan data-data yang mempunyai hubungan dengan penelitian ini.
                                                                                                                     13
F.     Validitas Data          
         Menurut Lexy Moleong trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
G.    Analisis data
          Dalam penelitian kualitatif, di lakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang di wawancarai. Bila jawaban yang di wawancarai setelah di analisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu. (Sugiyono : 246).
BAB IV
TEMUAN DATA DAN PEMBAHASAN
A.          Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.      Letak Geografis
Desa Watidal merupakan salah satu desa dari 8 (delapan) desa di Kecamatan Tanimbar Utara, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, yang terletak di Pulau Larat dengan batas-batas wilayah atau letak geografis sebagai berikut:
a.       Sebelah Utara berbatasan dengan Kepulauan Kei
b.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Pulau Selaru
c.       Sebelah Timur berbatasn dengan Laut Arafura
d.      Sebelah Barat berbatasan Pulau Babar
Luas Desa Watidal adalah 28,485 Km2. Sekitar 7,5 hektar lahan dijadikan wilayah hunian yang berlokasi di sepanjang pantai desa dan menyebar ke atas bukit. Areal sisanya adalah lading dan hutan milik warga. Luas Kawasan Tanimbar Utara 24,967 Km2 diidentifikasi dengan dataran tinggi hingga dataran rendah serta daerah pesisir pantai laut. Kecamatan Tanimbar Utara terletak di antara 6lintang selatan dan 70 lintang selatan. 130bujur timur dan 135bujur timur.
2.      Keadaan Iklim
Desa Watidal memiliki iklim tropis seperti desa-desa lainnya yang ada di MalukuTenggara. Terjadi dua pergantian musim yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat berlangsung dari bulan Oktober sampai bulan Desember, sedangkan musim timur berlangsung dari bulan Maret sampai September.
                                                        14
                                                                                                                         15
3.      Keadaan Penduduk
Penduduk merupakan sejumlah manusia yang ada pada satu daerah atau suatu desa yang di mana senantiasa di pengaruhi oleh kelahiran. Bericara mengenai penduduk dan sejumlah manusia, akan di kemukakan keadaan pendudk yang di peroleh dari kantor desa watidal, dengan jumlah penduduk 1.571 jiwa .dan akan lebih jelas lagi akan di gambarkan kopetensi penduduk desa watidal menurut tingkat umurnya.
Tabel 1.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur

Tingkat Umur
Pria
Wanita
Jumlah
0-8 Tahun
140
127
267
9-17 Tahun
135
270
270
18-26 Tahun
125
120
245
27-35 Tahun
120
130
250
54-Keatas
265
247
539
Jumlah 
785
786
1571
         Sumber: Kantor Desa Watidal Tahun 2014
4.      Keadaan Ekonomi
Desa Watidal merupakan salah satu desa di Kecamatan Tanimbar Utara yang memiliki potensi ekonomi yang bersumber dari laut dan darat. Mengingat desa Watidal adalah desa yang berada di pesisir pantai, maka sebagian besar masyarakat yang mata pencahariannya sebagai nelayan.
                                                                                                                           16
Disamping mengandalkan hasil laut sebagai sumber penghidupan mereka, masyarakat Desa Watidal juga mencari penghasilan tambahan sebagai petani yang mengolah hutan Desa Watidal. Disamping itu juga masih ada lagi profesi-profesi lain dari masyarakat desa Watidal seperti wiraswasta, PNS, TNI/POLRI dan lain-lain. Berikut adalah gambaran mengenai keadaan sosial ekonomi, dapat digambarkan pada table berikut:
Tabel 2.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No
Mata Pencaharian
Jumlah KK
1
Nelayan
150
2
Petani
280
3
PNS
35
4
Guru Swasta
20
5
TNI/POLRI
40
6
Sopir
8
Jumlah
533
               Sumber: Kantor Kepala Desa Watidal Tahun 2014
5.      Keadaan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang dapat menjamin kemajuan sebuah desa. Ketika kebutuhan akan pendidikan itu terpenuhi maka suatu desa dapat dikategorikan sebagai sebuah desa yang maju. Pendidikan di desa Watidal cukup maju, hal ini dapat dilihat dengan adanya sarana-sarana penunjang pendidikan yang cukup lengkap mulai dari taman kanak-kanak sampai tingkat SMA/SMK.
                                                                                                                          17
Tabel 3.
Sarana Pendidikan di Desa Watidal

No
Jenis Sarana   Pendidikan
Jumlah
Keterangan
1
TK
1
TK YPPK
2
SD
2
SD Kristen dan SD Inpres Watidal
3
SMP
1
SMP Negeri 1 Watidal
4
SMK
1
SMK 1 Tanimbar Utara
Jumlah
5

     Sumber DataKantor Kepala Desa Watidal, 2014.
            Dari tabel diatas maka dapat dijabarkan masing-masing sekolah berdasarkan tingkatannya dengan jumlah tenaga pengajar dan jumlah siswanya sebagai berikut:
·         1 buah  TK Swasta dengan  2 tenaga pengajar dan 12 siswa
·         2 buah SD dengan 15 tenaga pengajar dan 204 siswa
·         1 buah SMP dengan 14 tenaga pengajar 114 siswa
·         1 buah SMK dengan 16 tenaga pengajar 156 siswa

6.      Keadaan Kesehatan
Kesehatan adalah suatu faktor penting dalam kehidupan masyarakat baik dalam lingkungan keluarga dan hubungan kehidupan masyarakat sehari-hari dalam menjalankan aktifitasnya. Selain itu juga kesehatan diarahkan pada upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemerataan pada palayanan kesehatan.
                                                                                                                          18
Mempertimbangkan keadaan kesehatan masyarakat di Desa Watidal, sehingga Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tenggara Barat memberikan bantuan berupa satu gedung posyandu dan menempatkan seorang bidan desa untuk yang memiliki fungsi melakukan sosialisasi kesehatan, pengobatan dan perawatan kepada masyarakat di Desa Watidal.
7.      Agama dan Kepercayaan
Sebelum masuknya agama-agama ‘baru’, masyarakat Watidal menganut kepercayaan animisme. Kepercayaan bahwa benda-benda di dalam alam memiliki roh sehingga mereka menyembah dan menggantungkan hidupnya pada kekuatan-kekuatan alam seperti matahari (nlera), bulan (vulan), dan benda alam lainnya yang dianggap sebagai sumber kekuatan yang mempunyai pengaruh besar atas nasib manusia. Pengenalan akan agama di Tanimbar pada umumnya dan di Desa Watidal kemungkinan diperoleh dari Portugis dan Belanda.
Agama sangatlah penting bagi pembangunan mental, spiritual dengan disadari kepercayaan yang dianut oleh masing-masing individu. Agama dalam aplikasinya, dimana dijadikan sebagai penutun dalam mengatur manusia dengan sang pencipta. Selain itu juga agama menjadi pedoman bagi manusia dalam mengatur pelaksanaan hidupnya. Penduduk Watidal pada umumnya menganut agama Kristen Protestan, sehingga dapat dikatan sebagai agama mayoritas.
            Setiap manusia diwajibkan untuk menjalankan agamanya masing-masing, sehingga dengan ketaatannya terhadap agama maka secara tidak langsung telah mengajarkan manusia untuk patut serta disiplin dalam kehidupannya ke depan. Masyarakat desa Watidal dalam kehidupannya mereka tidak pernah melupakan ajaran agama terutama dalam pelaksanaan ibadah. Oleh karena masyarakat yang bercirikan agamis, memegang teguh ajaran-ajaran agama terhadap mengimplementasikan dalam kehidupan keseharian mereka.
            Sebab itu untuk menjalankan ajaran agama tersebut, maka masyarakat membutuhakn fasilitas, sarana dan prasarana keagamaan dalam proses peribadatan. Desa Watidal beridiri sebuah bangunan gereja Maranatha yang dibangun pada tahun 1940, tetapi karena struktur bangunan yang sudah tua dan rusak sehingga masyarakat melakukan pembangunan gedung gereja Maranatha yang baru pada tahun 2007.
8.      Hubungan Sosial Orang Watidal
Seperti halnya masyarakat pedesaan di Tanimbar (‘Tnebar’ dalam bahasa Fordata) pada umumnya, orang Watidal memiliki hubungan sosial yang telah melembaga dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Hubungan tersebut memiliki ikatan nilai dan norma yang telah menjadi kebiasaan serta memiliki peran untuk mengatur hubungan antar orang Watidal dan masyarakat Tanimbar pada umumnya di mana mereka berada. Sekalipun tinggal terpisah di negeri orang (perantauan), tetapi ada kesepakatan yang terjalin untuk hidup saling membantu dan melindungi antar sesama orang Watidal. Ikatan hubungan tersebut biasanya disebut duan dan lolat.
Sejak dulu orang Tanimbar sudah mengenal duan dan lolat, hubungan sosial ini terjalin melalui sebuah proses perkawinan antar keluarga yang berbeda, tetapi dalam keluargapun hubungan duan-lolat ada didalamnya. Oleh karena itu bila demikian konstruksinya maka hubungan tersebut merupakan sistem nilai yang mengatur hubungan sosial baik dalam satu keluarga maupun antar keluarga bahkan antardesa/kampung.

                                                                                                                          20
Menurut cerita para tua adat, setiap kali ada kelahiran orang selalu bertanya: duan atau lolat? Bila menjawab lolat berarti laki-laki, artinya dia akan menikah dengan perempuan lain dan menjadi lolat bagi keluarga perempuan. Demikian sebaliknya dijawab duan berarti anak yang baru lahir itu adalah perempuan yang kelak menikah dan memberikan status duan untuk keluarganya (Lihat, Paulus Koritelu, 2009: 36-38).
Hubungan sosial lain yang dimiliki oleh orang watidal adalah Kida Bela atau Pela. Hubungan sosial ini pada umumnya ada di Maluku. Pela adalah aliansi antara dua atau lebih desa yang terbentuk karena alasan-alasan atau tujuan-tujuan tertentu, seperti memberi bantuan dalam perang atau bantuan pada masa krisis ekonomi, adanya rekonsiliasi setelah perang atau konflik. Orang watidal sejak duluh memiliki hubangan pela dengan desa-desa, seperti dengan Desa Kelaan di Pulau Larat dan Desa Olilit di Saumlaki.
Hubungan pela antara Desa Watidal denga kedua desa tersebut, karena pemberian bantuan pada saat perang duluh. Menurut tua adat dari Desa Watidal bahwa: Pada zaman daluh kedua desa tersebut selalu berperang dengan desa-desa di Kepulauan Tanimbar sehingga alat perlengkapan untuk berperang selalu mereka meminta bantuan dari masyarakat Watidal, dan akhirnya terjalin hubungan pela tersebut. Hubungan ini terjalin hingga saat ini dan sering dilakukannya fangea kida bela (panas pela) antar kedua desa.
9.      Demokrasi Orang Watidal
Sebelum masuknya perkembangan demokrasi barat di Indonesia, orang Watidal sejak duluh telah mengimplementasikan demokrasi dalam kehidupan bersama sebagai kesatuan masyarakat adat Watidal. Misalnya dalam pemilihan raja atau ‘Orang Kai’, masyarakat melakukan  musyawarah pada tingkatan soa-soa yang telah ada kemudian masing-masing
                                                                                                                                 21
dari soa tersebut, berdasarkan  hasil musyawarah bersama untuk mengusulkan satu orang dari tiap soa sebagai kandidat orang kai untuk ada dalam pemilihan bersama oleh masyarakat Watidal.
Keadaan ini berbeda dengan negeri-negeri atau desa-desa adat di Ambon dan di Maluku Tengah yang musyawarah untuk mengusulkan raja hanya pada satu mata rumah atau marga tertentu dan tidak diperkenankan untuk marga lainnya (absolute). Di Desa Watidal yang terakomodir dalam soa-soa adalah marga atau mata rumah asli (tuan tanah atau mereka yang pertama tinggal di Desa Watidal). Untuk menjelaskan tentang proses pemilihan raja, dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1.
Mekanisme Pemilihan Raja/Orang Kai

Raja

Soa Fruan

Soa Ulu

Soa Muri





 Berdasarkan gambar diatas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
·         Soa ulu (muka) terdiri dari mata rumah Melbukranin yang terdiri dari marga-marga yaitu: marga Labobar, Masela, Kuway, Sobalely, Koritelu, dan Kornotan.
·         Soa fruan (tengah) terdiri dari mata rumah Ianyaran  terdiri dari marga-marga  yaitu: Serang, Serwunan, Teftutul, Waumasa, Jabar, Jawar, Talutu, Lokfo, Kanikir, Wusing, Kewilaa, dan Sainawal.
                                                                                                                       22
·         Soa muri (belakang) terdiri dari mata rumah Lamerawawan mencakup marga yaitu: marga Sabono, Afitu, Jadera, Kulaleen, Kornotan, Mofun, Lokra, dan Residay.
Dari matarumah dan marga tersebut diusulkan satu orang dari setiap soa untuk dipilih secara bersama-sama oleh masyarakat Desa Watidal. Sekalipun sistemnya pemerintahan adat duluh adalah monarki tetapi proses pemilihannya berdasarkan pada musyawarah mufakat. Berarti dapat juga disebut sebagai monarki non-absolute. Hal lain yang terlihat demokratis adalah proses pengambilan keputusan di Desa Watidal yang selalu melibatkan masyarakat melalui ‘tasdovu’ untuk membahas agenda yang akan dilakukan oleh Orang Kai (pemerintah desa) untuk kepentingan bersama masyarakat Watidal.
B.           Sajian Data dan Pembahasan
1.      Sejarah Perkembangan Tnabar Ila’a
Keberadaan suatu masyarakat tentu memiliki kebudayaan dengan seperangkat unsur budaya yang bersifat universal dan dikung oleh masyarakat tersebut. Begitupun dengan masyarakat Desa Watidal sebagai anggota pendukung kebudayaan Tanimbar. Berbicara tentang kebudayaan tentu tidak terlepas dari wujud kebudayaan itu sendiri. Koentjaraningrat menegaskan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud. Pertama, sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai norma, peraturan dan sebagainya. Wujud pertama dapat disebut sebagai sistem budaya, sefatnya abstrak karena berada dalam alam pikiran masyarakat itu. Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini dapat disebut juga sisteem sosial dan bersifat konkrit. Terakhir adalah sebagai benda-benda hasil karya manusia, keberadaannya sangat nyata karena langsung dapat dipegang (Koentjaraningrat, 1990:186-188).

                                                                                                                         23
Tnabar ila’a merupakan kebudayaan orang Tanimbar. Disebut sebagai kebudayaan orang Tanimbar, karena tarian tersebut adalah kesenian yang merupakan hasil karya dan cipta leluhur masyarakat Tanimbar yang tetap dilestariakan oleh setiap generasi. Herskovits memandang kebudayaan sebagai suatu super-organik karena kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran (Soerjono Soekanto 2007:150).
Suatu tarian tidak terlepas dari sejumlah nilai yang terkandung didalamnya, antara lain unsur pokok yakni motivasi perwujudan dan penjiwaan. Bahwa dibalik sebuah tari ada alasan-alasan yang melatarbelakangi tarian tersebut. Seorang informan menceritakan bahawa tnabar ilaa sudah ada sejak leluhur dan tarian tersebut merupakan ungkapan janji atau pesan khusus yang memiliki nilai kebaikan bagi persekutuan masyarakat, baik sebagai masyarakat Watidal maupun kepada masyarakat desa lain yang memiliki hubungan Kida Bela dengan orang Watidal, melalui syair (Tanleen) yang dilantunkan dalam tarian tersebut.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa tnabar ilaa tercipta berdasarkan konsekuensi masyarakat ketika mengikat persekutuan sebagai perwujudan kehidupan ideal berdasarkan perjanjian persekutuan tersebut. Penyampainya adalah melalui kesenian, yang merupakan salah satu ciri kemanusiaan yang timbul dari rasa keindahan. Dengan kata lain kesenian merupakan wahana ekspresi rasa keindahan masyarakat pendukung. Demikianlah tujuan kesenian dari tnabar ilaa adalah untuk menyampaikan pesan-pesan leluhur yang dahulu untuk tetap terjalin hubungan antara sesame orang Watidal maupun hubungan orang Watidal dengan masyarakat Desa Kelaan dan Desa Olilit yang memiliki hubungan pela.
Dalam hubungannya dengan penjiwaan, maka penggunaan bahasa dalam syair tnabar ilaa adalah bahasa fordata (vai dida) yang dapat menunjukan identitas mereka sebagai orang Tanimbar. Vai dida atau bahasa fordata dapat juga disebut sebagai ‘bahasa ibu’ karena untuk mengusai bahasa tersebut gurunya adalah seorang ibu. Ketika seseorang masih kecil dipangkuan ibu, selalu ada kata perintah atau lantunan lagu yang dinyanyikan oleh seorang ibu untuk membujuk anak kecil tersebut selalu menggunakan bahasa fordata, sehingga anak itu akan tumbuh dengan bahasa tersebut. Dapat juga melalui proses belajar apabila sesorang ingin mengetahui bahasa fordata.
Orang Watidal mengenal 3 (tiga) tarian sebagai kesenian tradisional yaitu; tnabar ila’atnabar vanewa dan tnabar lervauwyat. Setiap tarian tersebut memiliki makna dan fungsi masing-masing dalam pelaksanaannya, sehingga dapat digunakan pada acara atau kegiatan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat. Tarian-tarian tersebut merupakan kesenian orang Tanimbar yang telah ada dan berkembang dalam sejarah peradaban orang Tanimbar sejak leluhur dan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat adat di Tanimbar maupun di Desa Watidal.
Tnabar  Ilaa ,Ttnabar fanewa, dan Tnabar lervauwyat itu su dari ketong pung leluhur lai su ada. Ketong ini generasi-generasi penerus selalu jaga dan lestarikan akan karena itu hasil karya ketong pung leluhur. Ketong seng tau pasti kapan tarian tnabar ila’a, tnabar vanewa, dan tnabar lervauwyat itu dong cipta akan...” (Salah satu hasil wawancara dengan JK 77 tahun pada bulan Juni di Desa Watidal)
 [Tnabar  Ila’a, tnabar fanewa, dan tnabar lervauwyat yang ada di Tanimbar, sudah ada sejak  zaman leluhur. Kita sebagai generasi-generasi penerus selalu menjaga dan melestarikan hasil karya leluhur tersebut. Kita tidak dapat memastikan kapan tarian Tarian Tnabar Ila’a, tnabar vanewa, dan tnabar lervauwyat  diciptakan oleh mereka (leluhur)].
Tnabar  Ila’a dikenal di seluruh masyarakat Tanimbar, baik oleh orang Fordata dan orang Yamdena, walaupun dengan ciri tertentu pada tiap daerah namun terdapat persamaan. Khususnya pada penggunaan bahasa dan yang paling utama adalah pada fungsi dan makna yang terkandung dalam tari tersebut yang merupakan perwujudan nilai, hormat, tolong-menolong dan saling melindungi yang menjadi bagian dari sistem budaya Orang Tanimbar.
            Perkembangan Tnabar Ila’a seiring dengan perkembangan masyarakat dalam menghadapi modernisasi. Namun tidak mempengaruhi budaya tnabar ilaa yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Watidal. Tarian ini selalu dikembangkan oleh setiap generasi dan selalu dilakukan pada upacara adat, seperti panas pela, pelantikan kepala desa (orang Kai) dan bahkan selalu dilakukan oleh pelajar-pelajar ketika mengikuti perlombaan kesenian di sekolah-sekolah pada setiap tingkatan.
1.1. Pelaku Tari
Para penari Tnabar Ila’a umumnya adalah wanita dan atau pria yang berusia sekitar 30 (tiga puluh) sampai 50 (lima puluh) tahun dan atau yang telah mengetahui bahasa daerah (vai dida), karena bahasa tersebut digunakan dalam syair tari tnabar ilaa. Dengan demikian maka tidak terdapat batasan umur bagi penari tnabar ilaa. Perlu dijelaskan juga bahwa penari tnabar ilaa biasanya kaum wanita namun tidak dibatasi untuk pria. Apabila wanita yang menari maka kelihatan indah karena lekukan tulang belakang hingga bagian pinggul wanita itu indah sehingga akan nampak lugas dan luwes.
orang yang ikut menari dalam Tnabar Ila’a itu ketong seng batasi laki-laki ka  perempuan. Semua bisa ikut tapi dong harus tau vai dida atau bahasa fordata. Kalau waweyang riwun itu seng dibatasi jumlah dan bisa dari marga sembarang saja. Tapi kalo fabrian, taha ulu, fare, kual ulu muri, tabu, somar, dan wunut laisina itu harus dari marga yang punya tugas… misalnya fare harus dari marga koritelu mau kou te dawan harus bisa...karena ira ning afa e...” (Salah satu hasil wawancara dengan JK 77 tahun sebagai tua adat di Desa Watidal, Juni 2014). Keterangan JK penulis terjemahkan: Pelaku yang mengikuti Tnabar Ila’a, tidak dibatasi untuk pria dan wanita. Semua masyarakat dapat mengikuti tarian tersebut apabila telah mengetahui bahasa daerah atau bahasa fordata. Untuk waweyang riwun tidak dibatasi jumlah penari dan asal marga, tetapi untuk fabrian, taha ulu, fare, kual ulu muri, tabu, somar, dan wunut laisina harus berasal dari marga yang memiliki tugas pada bagian-bagian tersebut. Misalnya untuk fare tidak bisa dari marga lain, selain marga Koritelu sekalipun yang mengambil tugas tersebut adalah anak kecil atau orang dewasa, karena sudah menjadi tugas mereka.
Tugas penari tnabar ilaa terdiri dari:
a.       Fabrian, yaitu penari yang bertugas memimpin gerakan para penari lain. Misalkan jika ia bergerak ke kanan dan ke kiri, maka yang lain akan mengikutinya.
b.      Taha Ulu Muri, yaitu penari yang memimpin para penari lain ketika memasuki arena tari sebagai pimpinan dan ia berjalan di depan.
c.       Fare, yaitu penari yang bertugas memimpin untuk menyanyi (semacam dirigen untuk paduan suara).
d.      Kual Ulu Muri, yaitu penari yang tugasnya membantu fare ulu muri, agar seluruh penari dapat mendengar dengan baik syair yang dilantungkannya.
                                                                                                                      27
e.       Tiwal, yaitu penari yang merangkap sebagai pemukul tifa, posisinya saling berhadapan dan berada di depan waweyang riwun atau ditenga lingkaran. Jumlahnya adalah 4 orang.
f.       Tabu, yaitu penari yang merangkap sebagai pemukul tifa besar (babal) posisinya di tengah lingkaran yang dibentuk para penari.
g.      Somar, yaitu penari yang berada di samping kiri dan kanan, tugasnya memimpin gerak fare.
h.      Wunut Laisana, yaitu penari yang memegang tombak, posisinya juga tenga, berhadapan dengan tabu
i.        Waweyang Riwun, yaitu penari yang biasa dan tidak mempunyai tugas tertentu. Selain itu seluruh penari juga merangkap sebagai penyanyi sehingga diantara mereka terjalin suatu kerjasama.
Dari tugas penari tersebut dapat dijelaskan juga bahwa setiap tugas diwakili oleh marga-marga tertentu, seperti untuk fabrian adalah marga, taha ulu muri marga, fare marga, kual ulu muri adalah Serang, tifa kou adalah marga Sabono dan tifa babal adalah marga Jawar. Setiap tugas pada marga-marga tersebut telah dilakukan oleh leluhur hingga kini. Menurut salah satu informan bahawa tugas yang telah doperankan oleh marga-marga yang telah disebutkan diatas, tidak dapat diperankan oleh marga lain. Sekalipun utusan dari marga tersebut tidak bisa melakukan peran dalam tarian pada latihan, tetapi pada saat pelaksanaan tari tnabar ilaa dia akan terlihat seperti seorang yang pandai dalam melakukan peran itu. Karena ada kepercayaan bahwa leluhurnya telah ada bersama-sama dengan dia dalam melakukan peran itu.

                                                                                                                                 28
1.2.Iringan Tari
Alat musik yang di pergunakan untuk mengiring tari tnabar  ila’a  adalah 4 (empat) buah tifa kecil  yang digunakan oleh penari yang bertugas sebagai tiwal yang berjumlah empat orang dan 1 (satu) tifa babal (besar) yang digunakan oleh  penari yang bertugas sebagai tabu. Selain alat musik, ada syair (tanleen) yang dilantunkan oleh para penari. Bersarkan keterangan dari salah satu informan bahwa tanleen yang dilantunkan bervariatif dan sesuai dengan substansi acara yang dilakukan dengan tarian tnabar ila’a seperti panas pela, pelantikan kepala desa, penjemputan tamu.
1.3.Perlengkapan Tari
Perlengkapan tari Tnabar Ilaa ternyata mempunyai busana khusus. Busana yang digunakan adalah hasil Tenunan sendiri yang divariasi dengan corak-corak tertentu. Pakaian tari pada umumnya terdiri dari kain tenun (bakan) dan kebaya dari bahan tetron serta salendang dari kain tenun. Sebelum ada kain tetron masyarakat menggunakan baju cole yakni sejenis pakaian dalam yang berwarna putih tanpa lengan yang dikenal dengan nama kemben.
Dari dolo ketong selalu pakai pakian adat par menari macam bakan, syal, kemben, kmena, riti, somalai dan lain-lain yg ketong pake pada saat menari Tnabar Ila’a. Tapi sekarang perlengkapan yang pake par tnabar seng telalu lengkap lai… karena banyak orang seng punya. Jadi kalau tnabar ketong pake perlengkapan apa adanya saja. (Hasil



                                                                                                                                 29
Wawancara dengan AK 82 tahun salah satu tokoh adat di Desa Watidal, Agustus 2014). Keterangan AK dapat diterjemahkan sebagai berikut: Sejak duluh kita (orang Watidal) selalu menggunakan atribut-atribut adat yang dipergunakan oleh para penari tnabar ilaa, seperti bakan, syal, kemben, kmena, riti, somalai dan lainnya yang dipergunakan atau dipakai dalam tari tnabar ilaa. Namun sekarang perlengkapan yang dipergunakan sangat terbatas karena tidak semua orang memilikinya. Sehingga apabila dilakukannya tari tnabar ilaa, mereka mempergunakan perlengkapan apa adanya.
Berdasarkan keterangan informan lain yang selalu mengambil tugas dalam tari tersebut sebagai fare bahwa busana yang biasa digunakan dalam tari tnabar ilaa adalah sebagai berikut:
1.      Kain tenun panjang sepergelangan kaki dan kebaya berlengan panjang. ). Kain tenun (bakan dan syal) merupakan hasil buatan orang Watidal dengan warna dan motif yang berbeda-beda. Umumnya kain tenun berwarna merah, hitam dan kuning. Hitam melambangkan keagungan, merah melambangkan keberanian dan kuning melambangkan kebersamaan.
2.      Pada kebaya dilengkapi dengan selendang (syal) yang menyilang didepan dada juga dari bahan tenunan. Untuk wanita menggunakan kalung panjang dan anting.
3.      Rambut para wanita dibuat sanggul (sabsibil). Menurut salah satu informan bahwa Bagi wanita yang berambut panjang dapat menggunakan rambut asli, tetapi yang berambut pendek menggunakan rambut palsu atau cemara. Dilengkapi dengan hiasan burung cedrawasih (somalai).
4.      Perlengkapan lain, seperti emas bulan piring (wulan lihir) yang dipergunakan pada kepala bagian depan (dahi); snguran yang merupakan kalung dari manik-manik,
                                                                                                                       30
kmena (anting-anting besar); belusu dan riti adalah gelang yang dibuat dari kulit siput yang dipergunakan pada kaki (riti) dan tangan (belusu).
Selanjutnya dijelaskan juga bahwa yang biasanya bertugas untuk menggunakan perlengkapan-perlengkapan yang telah disebutkan diatas dapat diklasifikasikan dan dipergunakan oleh penari dengan tugas tertentu, seperti kual ulu muri. Yang dapat menggunakan wulan lihir (hiasan emas yang berbentuk bulan sabit) hanyalah mereka yang bertugas sebagai kual ulu muri karena mereka sebagai pemimpin dalam tarian tnabar ilaa tersbut. Hiasan yang diikat pada kepala bagian depan (dahi) ini berbentuk bulan sabit menandakan bahwa leluhur senantiasa melindungi masyarakat pada waktu siang dan malam, serta memberikan kehangatan bagi orang Watidal.
2.      Tnabar Ilaa dalam Upacara Adat
Tnabar ilaa terdiri dari morfem dasar yang artinya ‘injak’ dan mendapat sisipan ‘n’ menjadi tnabar yang berarti ‘menginjak’. Sedangkan ilaa artinya sacral atau agung. Dengan demikian tnabar ilaa mengandung pengertian, “seluruh masyarakat beserta bangsawan-bangsawan (raja, kapitan) turun menginjak tanah besar-besaran seray mementaskan tari tnabar ilaa yang sacral dan agung”. Dengan kata lain: tnabar ilaa mengandung pengertian leluhur dan masyarakat yang terikat persekutuan untuk mementaskan tari tnabar ilaa secara besar-besaran, merupakan puncak kebersamaan dan persatuan anggota masyarakat yang terikat kida bela dalam upacara fangea kida bela.
2.1. Panas Pela ( Fangea Kida-Bela)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hubungan kekerabatan orang Watidal selain duan dan lolat, adapun hubungan kekerabatan antar desa atau negeri yang disebut pela (kida-bela).
                                                                                                                                  31
Ikatan ini terjalin antara desa yang satu dengan desa lainnya karena alasan-alasan tertentu. Ikatan persekutuan kida bela dibentuk melalui suatu upacara adat yakni upacara pengukuhan kida bela (angkat pela). Angkat pela telah dilakuakan oleh antara Desa Watidal dan Kelaan, dan Desa Watidal dan Desa Olilit. Kedua desa tersebut memiliki ikatan pela dengan Desa Watidal yang terjalin sejak leluhur melalui suatu acara pengukuhan adat.
Acara pengukuhan kida bela dilakukan dengan sumpah yang disebut awaiyatik yang berarti ikatan tersebut sungguh-sungguh. Bila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh salah satu desa yang terikat kida bela, maka yang terjadi adalah wabah penyakit yang tidak dapat disembuhkan bahkan menimbulkan kematian. Ikatan ini juga berarti bahwa, kedua masyarakat tidak boleh saling fitnah, mengeluarkan kata-kata kotor atau perbuatan yang tidak wajar terhadap wanita. Segala hak milik dari kedua desa menjadi milik bersama, artinya bahwa apabila salah satu diantara kedua desa tersebut meminta benda atau barang berarti harus dipenuhi dan diberikan kepada desa yang memintanya. Apabila tidak diberikan maka sama halnya dengan memutuskan ikatan kida bela.
Untuk mendukung ikatan kida-bela, maka masyarakat Desa Watidal beranggapan bahwa perlunya diselenggarakan fangea kida bela (panas pela) secara periodik sebagai cara untuk mempertahankan peninggalan leluhur dan diketahui oleh setiap generasi. Pada intinya susunan upacara fangea kida bela, yaitu tarian adat tnabar ilaa, temar lolin, dan simasali.
Biasa kalo panas pela begitu, sebelum bicara adat biasa ketong yang tamu dari Watidal ini harus menari tnabar ila’a par bilang ketong pung maksud datang par pela supaya dong tau. Ketong pung maksud itu biasa bilang lewat tanleen baru dong persilahkan ketong masuk kampong lalu bicara adat (hasil wawancara dengan MK 72 tahun, salah satu tokoh adat di Desa Watidal)
                                                                                                                          32
( sudah menjadi kebiasaan pada saat panas pela, sebelum agenda pembicaraan adat, harus diawali dengan tari tnabar ilaa dari kita orang Watidal yang menjadi tamu pada pelaksanaan panas pela tersebut dengan maksud untuk menyampaikan tujuan kedatangan kami sehingga pela (tuan rumah) dapat mengetahui tujuan kedatangan tersebut. Tujuan kedatangan itu disampaikan melalui tanleen (syair dalam tarian tnabar ilaa) kemudian dipersilahkan untuk masuk ke desa tuan rumah untuk membicarakan adat ).
Dapat dijelaskan bahwa tnabar ilaa dalam fangea kida bela sesungguhnya memiliki fungsi komunikatif dan sebagai pembuka pelaksanaan kegiatan tersebut. Dikatakan sebagai komunikator karena sebelum agenda puncak yakni sidang adat yang dilakukan oleh kedua desa yang memiliki ikatan kida bela, maka melalui tanleen (syair) desa tamu dapat menyampaikan maksud kedatangan mereka. Untuk itu, adanya tnabar ilaa pada fangea kidabela yang dilakukan oleh orang Watidal dengan pela mereka sangat penting guna mengkomunikasikan tujuan dan keinginan mereka.
Proses panas pela yang diawali dengan tnabar ilaa sudah menjadi agenda baku dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Sehingga setiap periode pelaksanaan kegiatan panas pela, mereka (masyarakat desa) yang berstatus sebagai tamu selalu mempersiapkan tarian tnabar ilaa beserta dengan syair-syair yng disampaikan ketika pelaksanaan tari tnabar ilaa.
2.2. Pelantikan Raja atau Orang Kai
Telah dijelaskan sebelumnya terkait dengan mekanisme dan atau proses pemilihan raja yang dilakukan oleh orang Watidal secara demokrasi menurut adat-istiadat setempat. Mekanisme selektifnya melalui tiga soa yang terdiri atas beberapa mata rumah atau marga, kemudian menhasilkan tiga orang yang dipersiapkan untuk ikut dalam pemilihan langsung
                                                                                                                                  33
secara menyeluruh masyarakat Watidal dan menghasilkan seorang pemimpin yang disebut sebagai Orang Kai.
Orang Kai Watidal yang terpilih dapat dilantik melalui 2 (dua) mekanisme pelantikan, yaitu pelantikan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Bupati) dan melalui mekanisme pelantikan adat (tua-tua adat). Menurut salah satu informan bahwa selain pelantikan yang dilakukan oleh Bupati, adapun pelantikan yang dilakukan oleh tua-tua adat dengan maksud bahwa agar Orang Kai Desa Watidal yang terpilih tersebut, mendapatkan restu dari Tuhan (Ubila’a) dan leluhur orang Watidal sebagai pemimpin masyarakat. Ada kepercayaan bahwa apabila dilantik secara adat maka leluhur akan bersama-sama dengan orang kai untuk memimpin Watidal kelak.
Proses pelantikan Orang Kai Watidal melalui upacara adat yang agendanya meliputi tarian tnabar ilaa dan sumpah adat. Menurut penulis tnabar ilaa dalam pelantikan orang kai yaitu sebagai alat komunikasi dan mempererat kebersamaan sebagai masyarakat Watidal. Pertama, sebagai alat komunikasi. Bahwa dalam pelantikan raja atau orang kai, tnabar ilaa melalui syairnya (tanleen) membawa pesan amanah kepada sang raja sehingga ketika memimpin masyarakat Watidal, harus penuh dengan kebajikan dan mensejahterakan serta membahagiakan orang Watidal.
Kedua, mempererat persatuan dan kebersamaan sebagai masyarakat Watidal. Setelah melalui proses seleksi pada tiga soa yang memunculkan tiga kandidat dari setiap soa, dan melalui proses pemilihan raja yang menghasilkan seorang raja terpilih, selama itu masyarakat terpecah-belah untuk mendukung kandidatnya masing-masing karena latar belakang keluarga dan sebagainya. Maka melalui tari tnabar ilaa pada pelantikan raja terpilih mereka bergabung
                                                                                                                                 34
dan bergandengan tangan, serta melantunkan syair-syair dalam kebersamaan tarian tersebut dengan berbagai peran dan tugas dalam tnabar ilaa.
Berdasarkan keterangan dari salah satu informan bahwa pada saat pemilihan raja atau orang kai oleh seluruh masyarakat, pada saat itu pula masing-masing marga tetap mendukung kandidat raja yang berasal dari marganya, begitu pula sebaliknya dengan marga lainnya. Dalam pemilihan tersebut ada calon raja yang tidak terpilih dan menimbulkan kekecewaan, tetapi ketika pelantikan raja secara adat yang biasa disebut sebagai pesta rakyat maka melalui tnabar ilaa masyarakat dapat bersatu kembali dalam kebersamaan sebagai orang Watidal.
3.      Tnabar Ila’a pada Penjemputan Tamu
Tnabar ilaa pada penjemputan tamu, sebetulnya tidak dilakukan untuk setiap tamu yang datang ke Desa Watidal. Tamu yang datang ke Watidal dapat diklasifikasi berdasarkan jabatan dan tujuan kedatangannya.
Seng semua tamu yang datang ke Watidal ketong jemput deng tnabar ilaa. Tamu-tamu yang bagimana sekali baru ketong tari. Contoh waktu itu pengresmian bandara Liur Bunga, yang datang itu gubernur dan bupati dan ketong jemput deng tnabar ilaa karena dong pung maksud baik par ketong masyarakat Watidal. (Hasil wawancara dengan MK 72 di Desa Watidal Agustus 2014). Keterangan MK dapat diterjemahkan sebagai berikut: tidak semua tamu yang datang ke Watidal kita jemput dengan tnabar ilaa. tamu-tamu tertentu yang dapat dijemput dengan tari. Contoh, pada peresmian bandara Liur Bunga di Watidal, yang datang untuk menghadiri peresmian adalah gubernur dan bupati sehingga penjemputannya dilakukan dengan tnabar ilaa karena tujuan baik untuk kepentingan masyarakat Watidal.

                                                                                                                         35
Selain pejabat pemeritahan yang dijemput dengan tari tnabar ilaa, adapun tamu-tamu lainnya yang menurut orang Watidal sangat penting dan kedatangan mereka untuk tujuan yang mulia maka perlu untuk melakukan penjemputan dengan tari tnabar ilaa. Tnabar ilaa pada penjemputan tamu, memiliki fungsi sebagai alat komunikasi dimana melalui tanleen (syair) masyarakat mengungkapkan perasaan senang dan bahagia menyamput tamu tersebut. Tnabar ilaa dipentaskan sebelum para tamu memasuki Desa Watidal untuk melakukan kegiatan yang sudah menjadi tujuan kedatangannya.
4.      Fungsi Tnabar Ila’a
Berbicara tentang fungsi tentunya ada hal yang berguna dan penting. Begitupun dengan fungsi tari tnabar ilaa dalam upacara adat seperti fangnea kida bela dan pelantikan orang Kai pada masyarakat Watidal. Setiap upacara adat tersebut harus diawali dengan tnabar ilaa. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan tnabar ilaa sangat penting karena terlihat pada fungsinya dalam upacara-upacara adat. Berdasarkan pada penggunaan tnabar  ilaa yang telah dijelaskan sebelumnya maka menurut penulis tnabar ilaa memiliki fungsi sebagai berikut:
4.1. Sebagai Penguat Identitas dan Solidaritas
Masyarakat di Tanimbar pada umumnya mengenal dan sekaligus pendukung tari tnabar ilaa. Kepulauan Tanimbar terdiri dari beragam desa dan pulau maka tari tnabar ilaa memiliki ciri yang berbeda meskipun demikian tari ini tetap memiliki kesamaan yaitu terletak pada unsure bahasa yang digunakan. Unsur bahasa terwujud dalam syair (tanleen) yang dipakai dengan meggunakan bahasa daerah fordata (atau bahasa Seira, Larat, dan Fordata).
Bahasa daerah (vai dida) adalah bahasa asli orang Tanimbar, demikian juga tnabar ilaa maka keduanya menunjukan identitas orang Tanimbar mencakup orang Watidal. Untuk
                                                                                                                                  36
mengetahui gerak tari tnabar ilaa dan bahasa fordata maka dibutuhkan proses belajar atau berlatih menari, sehingga dapat menguasai gerakan-gerakan yang terdapat pada tarian tersebut. Menurut salah satu informan bahwa apabila menguasai bahasa fordata dan tari tnabar ilaa maka disebut sebagai anak Tanimbar. Demikian sebaliknya, apabila tidak menguasai bahasa fordata dan tnabar ilaa maka tidak dapat diseut sebagai anak Tanimbar karena keduanya merupakan tanda pengenal masyarakat Tanimbar.
            Apabila keduanya disebut sebagai identitas maka dalam pelaksanaannya juga tnabar ilaa sebagai penguat identitas masyarakat adat Tanimbat. Hal tersebut terlihat pada tugas dan peran mereka pada tarian tersebut yang merepresentasikan marga dan mata rumah yang ada di Desa Watidal. Begitupula pelaksanaan tari tnabar ilaa pada komunitas masyarakat yang mencakup lebih dari satu desa, dimana masyarakat tergabung dalam tnabar ilaa bergandeng tangan, bergembira, bersatu dan melantunkan syair-syair yang bermakna persatuan. Melihat kebersamaan dan persekutuan dalam tari tnabar ilaa maka yang menonjol adalah menguatnya persekutuan sebagai ikatan masyarakat Tanimbar.
4.2. Alat Komunikasi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam tnabar ilaa ada syair-syair (tanleen) yang dilantunkan oleh para penari. Syair-syair tersebut bervariatif artinya bahwa syair yang dilantunkan harus berisi pesan sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dengan keikutsertaan dan atau adanya tnabar ilaa, seperti pada upacara adat fangea kida bela, pelantikan raja dan penjemputan tamu desa. Pesan dalam syair tersebut meliki makna ungkapan perasaan orang Tanimbar atau orang Watidal.

                                                                                                                         37
Ungkapan perasaan melalui pesan syair oleh para penari dalam tnabar ilaa agar orang Tanimbar atau orang Watidal tetap menjaga persaudaraan dan tidak menciptakan pertengkaran hingga perpecahan dalam masyarakat adat Tanimbar. Bahwa kehidupan sebagai masyarakat Tanimbar yang menjunjung tinggi kida bela dan duan lolat harus mencrminkan kehidupan saling menghormati dan saling melindungi. Dengan demikian maka tnabar ilaa merupakan alat komunikasi melalui syair (tanleen) yang dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat agar tetap hidup dalam ikatan persaudaraan.
4.3. Sebagai Sarana Pendidikan
Tnabar ilaa memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan karena tari tersebut sebagai tarian kebesaran orang Tanimbar yang harus dipelajari oleh setiap anggota masyarakat. Melalui wadah tersebut masyarakat dapat mengembangkan kesenian yang mereka miliki. Hal lainnya juga bahwa tnabar ilaa sebagai sarana belajar bagi generasi-generasi penerus yang yang ingin mngembangkan hasil karya leluhur tersebut sehingga tidak hilang ditelan perubahan zaman.
5.      Pandangan Masyarakat Tentang Tnabar Ila’a
Pada Masyarakat Tanimbar Utara Desa Watidal memandang Tnabar Ila’a sebagai fungsi tarian tnabar ilaa dalam upacara adat seperti fangnea kida bela (Panas Pela) dan pelantikan orang Kai (Kepala Desa) pada masyarakat Desa Watidal. Selain itu Masyarakat Desa Watidal juga memandang Tarian Tnabar Ilaa sebagai Tari pengikat persahabatan pada waktu Panas Pela antar dua Desa untuk menbagun persahabatan, dan masyarakat Watidal memandang Tnabar Ilaa sebagai Tarian Kebesaran orang Tanimbar dan Tarian ini melibatkan

                                                                                                                                  38
Banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan dan Tarian ini di lakukan Setiap upacara adat tersebut harus diawali dengan Tnabar Ilaa.
6.      Sejarah Singkat Desa Watidal
Ada tiga hal yang dijadikan sumber untuk mengetahui asal-usul Desa Watidal. Pertama, berdasarkan cerita dongeng, asal-usul seluruh penduduk Tanimbar adalah dari Pulau Beersadi yang terletak di antara Pulau Babar dan Pulau Seira yang telah tenggelam. Kata tanimbar berasal dari kata ‘tebar’ yang artinya masuk ke dalam air atau tenggelam. Penghuni Baersadi kemudian bermigrasi ke berbagai wilayah seperti Pulau Yamdena, Pulau Enos, Pulau Seira,Pulau Molo, Pulau Larat, Pulau Fordata, Pulau Kei, dan bahkan ke wilayah Seram Timur di Maluku Tengah.
Menurut legenda yang dikenal masyarakat Desa Watidal nenek moyang mereka berasal dari Pulau Baersadi yang konon tenggelam. Ketika Pulau Baersadi tenggelam beberapa diantara mereka menyusuri pantai Barat Pulau Yamdena dan akhirnya tiba di Pulau Larat dan menetap pada suatu tempat yang disebut oho-ilaa kelompok ini membentuk komunitas yang baru, yakni Yamaha-Bessy, Terwarat, Oho-Karkari dan Atabel.
Pada saat mereka mendengar bunyi toleng-toleng (suatu alat bunyi yang dibuat dari bamboo) ternyata bunyi itu berasal dari orang Ridol yang datang dari Nuswotar sambil  menyanyi sebuah syair “Arinikisa na ubun nanelak koinotan nanukwe matindawang mawu”, yang artinya “kita hidup dalam satu daratan dan terpisah oleh hutan rimba yang tidak ketemu”. Setelah bertemu dengan kelompok Ridol, kelompok Ohoilaa mengajaknya untuk hidup bersama dan menempati daerah Oefnifmasa. Beberapa hari setelah itu terdapat suara ayam berkokok dan ternyata itu adalah suling werwaa orang Ritabel. Sejak itu ada tiga
                                                                                                                                 39
kelompok yang tergabung menjadi satu dan mereka berpendapat bahwa mereka harus mencari satu kelompok lagi untuk menjadi empat kelompok.
Kemudian mereka berjalan dan bertemu dengan orang Lelingluan yang tinggal di Oho Karkari. Akhirnya empat kelompok (Oho Ilaa, Ridol, Ritabel Lelingluan) yang menetap di Oho Ilaa. Perkembangan selanjutnya kelompok-kelompok tersebut terpencar dan menjadi Desa Ridol, Ritabel, Lelingluan, dan Watidal. Keempat desa itu merupakan empat serangkai yang diberi nama Korba Eyan Ifaat, yang artinya kerbau mempunyai empat kaki dengan kata lain empat menjadi satu dan tidak terpisahkan.
Legenda lain yang merujuk langsung pada sejarah Desa Watidal yakni, legenda yang dilatarbelakangi pula oleh tenggelamnya Pulau Baersadi. Menurut salah satu informan bahwa duluh Watidal adalah suatu kawasan tidak berpenghuni kemudian terjadi migrasi penduduk dari Pulau Baersadi. Ketika itu datang sepasang suami istri Bailota dan Wawumeti disertai dua ekor anjing yang mereka berinama teliawar (bintang siang) dan wiaklamit (bintang sore). Mereka tinggal diwilayah Pulau Larat dan mereka menetap di hutan Kulwoda yaitu suatu tempat yang tidak terdapt air. Kedua anjing tersebut menemukan pantai dan kemudian Bailota dan Wawumeti berpindah tempat ke pesisir pantai dan seterusnya berkembang dan hidup turun-temurun hinggga membentuk suatu kesatuan masyarakat, itulah Watidal.
Versi lain mengenai Desa Watidal dapat diperoleh melalui catatan Hindia Belanda, ketika pemerintahan Belanda tiba di Pulau Larat dan memang sudah ada desa yang bernama Wat-Dal (sekitar abad 19 atau abad 20). Wat artinya batu dan Dal artinya tikar, dinamakan demikian sebab daerah tersebut banyak ditumbuhi pohon tikar yang daerahnya berbatuan. Maka dapat disimpulkan bahwa sejarah penduduk Desa Watidal berasal dari keturunan migrant yang dating dari berbagai pulau lainnya di Kepulauan Tanimbar.
                                                                                                                         40
Awal peristiwa  migrasi itu sejak ratusan tahun yang lalu dan desa-desa yang ada di Pulau Larat merupakan desa-desa kuno yang telah ada sejak lama bahkan berates-ratus tahun yang lampau.















BAB V
PENUTUP

Dalam bagian penutup ini, penulis akan menyajikan beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A.    Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Tnabar Ilaa merupakan Tarian adat dan di artikan sebagai Tarian Kebesaran orang Tanimbar.
2.      Tnabar Ilaa sudah ada sejak zaman leluhur kita.
3.      Tnabar Ilaa biasanya dipakai dalam upacara adat seperti; Panas Pela, Pelantikan Kepala Desa, dan upacara adat lainya.
4.      Tnabar Ilaa merupakan Tari pengikat persahabatan antara dua Desa.

B.     Saran
Dengan memperhatikan hasil penelitian dalam penulisan ini, maka penulis mengemukakan saran sebagai berikut;  
1.      Diharapkan agar para sejarawan dapat mengembangkan tulisan ini lebih mendalam, dengan mengungkapkan semua aspek yang belum sempat terurai.
2.      Penulisan ini akan memberikan wawasan kepada generasi muda tentang Fungsi Tnabar Ilaa yang awalnya sulit diungkapkan.
3.      Para Tua-Tua Adat Desa Watidal, sebagai bagian yang penting dari Masyarakat Adat, sangat diharapkan dapat memberikan informasi secara objektif, agar
4.      generasi muda yang merupakan generasi penerus, maupun Masyarakat luar dapat mengetahui fungsi Tnabar Ilaa secara benar.

Daftar Pustaka
Bungin Burhan ed. (2001).Metodologi Penelitian Kualitatif. Rajawali Pers, Jakarta.
Batkunde.A. (2012).Upacara “Fangnea Kidabela” Masyarakat Tanimbar. Tim Peneliti.
Keesing. M. Roger (1992). Antropologi Budaya. Erlangga, Jakarta.
Koejaraninggrat.(2002). Pengantar Ilmu Antropologi. PT Rineka Cipta, Jakarta.
Koritelu Paulus ( 2009 ). Perubahan Hubungan Sosial Masyarakat Duan dan Lolat, Departemen Sosiologi Universitas Indonesia.
Lehalima Wenang. Tinjauan Tentang Adat Perkawinan Masyarakat Desa Balbalu Kecamatan Air Buaya Kabupaten Buru.Skripsi, S1 Fkip Unpatti Ambon (2013).
Moleong. J. Lexy. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif.PT Remaja Rosdakarya.
Setiadi M. Elly. ( 2009 ). Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Kencana.
Sutina Dan Bengong Suyanto. ed (2007). Metode Penelitian Sosial.Kencana.
Soekanto Soerjono ( 2012 ). Hukum Adat Indonesia. PT Rajagrafindo Persada.
Sugiyono ( 2011 ). Metode Penelitian Kuantitatif, Dan Kualitatif. PT Alfabeta Bandung.
Soekanto Soerjono ( 2007 ). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tri Prsetia Joko dkk.(2009). Ilmu Budaya Dasar. PT Rineka Cipta, Jakarta.
Talik H ( 1991 ). Mengenal Sistem Kekerabatan Suku Tanimbar.
Veeger. K. J. Msc. (1992). Ilmu Budaya Daya Dasar. PT Prenhallindo, Jakarta.
http://phaniekabelen.blogspot.com. Fungsi Dan Seni Tari, Diakses Tanggal 21 Januari 2014
INSTRUMEN PENELITIAN

I.                    Identitas informasi

1.      Nama:
2.      Umur :
3.      Status :
4.      Pendidikan terakhir :

II.                  Petunjuk

Dalam upaya menempatkan informasi tentang, Fungsi Tarian Tnabar Ila’a Dalam Upacara Adat Di Desa Watidal maka bapak/ibu sdr/I di minta untuk menjawab jawaban yang sesuai dengan pertanyaan berikut. Jawaban bapak/ibu/sdr/I sangat bermanfaat bagi penulis. Untuk itu kami memohon kesediaan bapak/ibu/sdr/I untuk dapat mengungkapkan apa saja yang bapak/ibu/sdr/I ketahui.

III.                Pertanyaan

1.      Mengapa sampai Tarian Tnabar Ila’a ini  di sebut sebagai tarian kebesaran orang tanimbar, dan apa manfaat  tarian tersebut.
2.      Bagaimana terbentuknya Tarian Tnabar Ila’a Di Desa Watidal.
3.      Dari manakah Tarian Tnabar Ila’a ini berasal.
4.      Nyanyian-nyanyian apa saja yang di pakai dalam Tarian Tnabar Ila’a tersebut.
5.      Mengapa sampai Tarian Tnabar Ila’a ini di bentuk dalam bulatan atau dalam bentuk bulan.
6.      Tarian Tnabar Ila’a ini di pakai dalam upacara-upacara apa saja.
7.      Benda-benda apa  saja yang di pakai dalam Tarian Tnabar Ila’a tersebut.




DAFTAR INFORMAN

NO
            NAMA
     UMUR
JENIS KELAMIN
JABATAN
1
Albertus. Kuay
     85 tahun
L
  Tua Adat
2
Yoakim. Koritelu
     77 tahun
L
  Tua Adat
3
Melkias. Kewilaa
     75 tahun
L
  Tua Adat
4
Albert. Tawa
    75 tahun
L
Masyarakat
5
Jeret. Sabono
    62 tahun
L
Masyarakat
6
Reynhard. Sabono
   69 tahun
L
   Tua Adat
2
Samen. Koritelu
   55 tahun
L
Masyarakat



Tidak ada komentar:

Posting Komentar